LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN TUBERKULOSIS PARU (TB PARU)


  1. KONSEP DASAR PENYAKIT
  1. DEFINISI / PENGERTIAN
          Tuberkulosis paru (TB Paru) adalah penyakit infeksi yang menyerang jaringan parenkim paru yang disebabkan oleh kuman mikobakterium tuberkulosis.


  1. ETIOLOGI / PENYEBAB
          Penyakit TB Paru disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis berbentuk batang / basil tahan asam (BTA) yang bersifat aerobik. Terdapat beberapa strain  dari kuman ini, yang bersifat pathogen terhadap manusia adalah strain bovin dan human.
  1. EPIDEMIOLOGI / INSIDENS PENYAKIT
          TB Paru merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia dengan angka mortalitas dan morbiditas yang terus meningkat. Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kemiskinan, malnutrisi, tempat kumuh, perumahan dibawah standar, dan perawatan kesehatan yang tidak adekuat. Mikobakterium tuberculosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia.
           Pada tahun 1993 WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TBC, karena pada sebagian besar negara di dunia penyakit TBC tidak terkendali. Ini disebabkan banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan terutama penderita menular (BTA positif). Pada tahun 1995 diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar 9 juta penderita baru TBC dengan kematian 3 juta orang (WHO, Treatment of Tuberculosis, Guidelines for National Programmes,1997). Di Negara-negara berkembang kematian TBC merupakan 25 % dari seluruh kematian, yang sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan 95% penderita TBC ada di negara berkembang, 75% adalah kelompok usia produktif (15-50 tahun). Munculnya epidemi HIV/AIDS di dunia, diperkirakan akan memicu peningkatan jumlah penderita TBC.
Di Indonesia TBC merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa penyakit TBC merupakan penyebab kematian nomor tiga (3) setelah kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Pada tahun 1999 WHO memperkirakan di Indonesia setiap tahunnya terjadi 583.000 kasus baru TBC dengan kematian sekitar 140.000. Secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 kasus baru TBC Paru BTA positif.
  1. PATOFISIOLOGI
Tempat masuknya kuman tuberkulosis adalah saluran pernapasan, pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Namun kebanyakan infeksi terjadi melalui udara yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel dari orang terinfeksi. Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya berada di bagian bawah lobus atas paru-paru atau di bagian atas lobus bawah dan membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear (PMN) memfagosit bakteri namun tidak membunuhnya. Selanjutnya leukosit diganti oleh makrofag, alveoli yang terserang mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Gejala ini dapat sembuh dengan sendirinya.
Proses dapat terus berlanjut dan bakteri terus difagosit dan berkembangbiak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui kelenjar limfe regional. Lesi berkembang dan terbentuk jaringan parut yang mengelilingi tuberkel yang disebut fokus ghon dan gabungan terserangnya kelenjar limfe regional dengan fokus ghon disebut kompleks ghon. Fokus ghon dapat menjadi nekrotik dan membentuk masa seperti keju, dapat mengalami kalsifiksi membentuk lapisan protektif sehingga kuman menjadi dorman.
Setelah pemajanan dan infeksi awal, individu dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau respons inadekuat dari sistem imun. Penyakit aktif dapat juga terjadi akibat infeksi ulang atau aktivasi bakteri dorman. Hanya sekitar 10% yang awalnya terinfeksi yang mengalami penyakit aktif. Basil TB dapat bertahan lebih dari 50 tahun dalam keadaan dorman. Penyakit dapat juga menyebar melalui kelenjar limfe dan pembuluh darah yang dikenal denga penyebaran limfohematogen ke berbagai organ lain seperti usus, ginjal, selaput otak, kulit dan lain-lain.




         


     5.      KLASIFIKASI PENYAKIT DAN TIPE PENDERITA
Tujuan dilakukan klasifikasi penyakit dan tipe penderita untuk menetapkan panduan obat anti tuberculosis (OAT) yang sesuai dan dilakukan sebelum pengobatan dimulai.
          


       5.1  Klasifikasi Penyakit
              5.1.1  Tuberkulosis Paru
Berdasarkan hasil pemeriksaan sputum, TB Paru dibedakan menjadi :
1)      TB Paru BTA Positif.
Ø  Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS (sewaktu,pagi,sewaktu) hasilnya positif.
Ø  1 spesimen dahak SPS BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran TB Paru aktif.
2)      TB Paru BTA Negatif.
Ø  Pemeriksaan 3 spesimen dahak hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
Ø  Dibedakan menjadi bentuk berat dan ringan. Bentuk berat memperlihatkan gambaran foto rontgen dada dengan kerusakan paru yang luas dan atau keadaan umum yang buruk.
5.1.2        Tuberkulosis ekstra paru
 Tuberkulosis yang menyerang organ pleura, selaput otak, perikardium, kelenjar limfe, tulang, persendian, usus, kulit, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain dibagi menjadi :
1)      TB Ekstra Paru Ringan.
Ø  Misalnya TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
2)      TB Ekstra Paru Berat.
Ø  Misalnya meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleura eksudativa duplex, tb tulang belakang, usus, saluran kencing dan alat kelamin.
5.2.Tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya yaitu :
1) Kasus Baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah   pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
2) Kambuh atau Relaps adalah pendeita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan BTA positif.
3) Pindahan adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini disertai dengan surat pindah atau rujukan.
4) Lalai / Drop Out adalah penderita yang sudah berobat minimal 1 bulan dan berhenti 2 bulan atau lebih kemudian datang kembali berobat umumnya dengan hasil pemeriksaan BTA  positif.
6. MANIFESTASI KLINIS
Pada stadium dini tidak tampak adanya gejala yang khas. Selanjutnya pasien menunjukkan demam subfebris, keletihan, anoreksia, penurunan berat badan, berkeringat malam, nyeri dada, sesak napas dan batuk yang menetap. Batuk pada awalnya mungkin nonproduktif, tapi dapat berkembang kearah pembentukan sputum mukopurulen dengan hemoptisis.
7.      DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis apabila sedikitnya 2 dari 3 spesimen hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen positif perlu diadakan pemeriksaan rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS ulang. Dapat pula dilakukan kultur sputum dan tes kulit tuberkulin. Sementara itu tes kulit tuberkulin  (mantoux) digunakan untuk menentukan apakah individu telah terinfeksi atau terpapar basil TBC. Dilain pihak hasil uji tuberkulin dapat negatif meskipun orang tersebut menderita TBC, misalnya pada pasien HIV/AIDS, malnutrisi, TBC milier atau morbili. Di Indonesia uji tuberkulin tidak memiliki arti dalam menentukan diagnosis TBC pada orang dewasa sebab sebagian besar masyarakat sudah terinfeksi mikobakterium tuberkulosis karena tingginya prevalensi TBC.
8.      PENATALAKSANAAN MEDIS
TB Paru diobati dengan obat anti tuberkulosis selama periode 6 -8 bulan. Lima medikasi garis depan : Isoniasid (H), Ripamfisin (R), Streptomisin (S), Etambutol (E) dan Pirazinamid (Z). Pengobatan diberikan dalam 2 tahap : tahap intensif  (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan tahap lanjutan penderita minum obat 3 kali seminggu.



Panduan obat yang ada di Indonesia meliputi :
1) Kategori 1 ; tahap intensif terdiri dari HRZE selama 2 bulan dan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan. Panduan ini diberikan pada penderita baru BTA positif, BTA negatif rontgen positif yang sakit berat dan TBC ekstra paru berat.
2) Kategori 2 ; tahap intensif diberikan selama 3 bulan terdiri dari 2 bulan dengan HRZE dan suntikan Streptomisin setiap hari, 1 bulan dengan HRZE. Untuk tahap lanjutan penderita diberi HRE selama 5 bulan. Panduan ini untuk penderita kambuh,gagal atau setelah lalai (after default).
3) Kategori 3 ; tahap intensif dengan HRZ selama 2 bulan dan tahap lanjutan dengan HR selama 4 bulan. Panduan ini untuk penderita BTA negative rontgen positif sakit ringan, ekstra paru ringan.

      B.     KONSEP DASAR ASKEP
1.      PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Ø  Riwayat kesehatan dan periksaan fisik lengkap.
Ø  Manifestasi klinis : demam, anoreksia, penurunan BB, berkeringat malam, keletihan, batuk dan terbentuknya sputum.
Ø  Catat setiap perubahan suhu tubuh atau frekuensi pernapasan, jumlah dan warna sekresi, frekuensi batuk dan nyeri dada.
Ø  Evaluasi bunyi napas (menghilang,bunyi bronkial,bronkovesikuler,krekles), fremitus, egofoni, dan perkusi pekak.
Ø  Periksa adanya pembesaran nodus limfe yang sangat nyeri.
Ø  Kaji kesiapan emosional pasien untuk belajar, persepsi dan pengertiannya tentang tuberkulosis dan pengobatannya.
Ø  Evaluasi fisik dan hasil laboratorium.
2.      DIAGNOSA KEPERAWATAN / POTENSIAL KOMPLIKASI
1)      Bersihan jalan napas tidak efektif b.d sekresi trakeobronkial yang sangat banyak.
2)      Regimen terapeutik tidak efektif b.d kompleksitas pengobatan jangka panjang.
3)      Intoleransi aktifitas b.d keletihan,perubahan status nutrisi dan demam.
4)      Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh b.d rangsangan pusat pengatur suhu akibat zat pirogen kuman TBC.
5)      Nyeri akut b.d peningkatan mediator nyeri akibat reaksi inflamasi.
6)      Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan nafsu makan / anoreksia.
7)      Kurang pengetahuan tentang tindakan pencegahan penularan b.d informasi tak adekuat.
8)      PK  : efek samping medikasi.
9)      PK : TB miliaris.
3.      RENCANA INTERVENSI KEPERAWATAN
1)      Peningkatan bersihan jalan napas.
Ø  Pantau tanda-tanda bersihan jalan napas tak efektif (sputum kental,dispnea,ronki)
Ø  Tingkatkan masukan cairan yang adekuat.
Ø  Anjurkan menghirup uap hangat dengan kelembaban tinggi.
Ø  Anjurkan posisi yang nyaman untuk drainase sputum.
Ø  Kolaborasi pemberian ekspektoran.
2)      Peningkatan regimen terapeutik.
Ø  Kaji tingkat kepatuhan pasien untuk pengobatan jangka lama.
Ø  Jelaskan kepada pasien pentingnya mengikuti protokol pengobatan dengan baik.
Ø  Diskusikan dengan pasien dan keluarga tentang faktor pendukung dan penghambat pengobatan.
3)      Meningkatkan toleransi terhadap aktifitas.
Ø  Kaji faktor-faktor yang menimbulkan keletihan.
Ø  Pantau tingkat toleransi pasien terhadap aktivitas.
Ø  Jelaskan manfaat aktivitas untuk mempercepat proses penyembuhan.
Ø  Tingkatkan kemandirian dalam perawatan diri, bantu jika keletihan terjadi.
Ø  Anjurkan aktifitas alternatif sambil istirahat.
4)      Mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal.
Ø  Kaji tanda-tanda peningkatan suhu tubuh.
Ø  Jelaskan bagaimana suhu tubuh dapat meningkat akibat infeksi.
Ø  Pertahankan hidrasi adekuat.
Ø  Kolaborasi pemberian antipiretika bila perlu.


5)      Mengatasi nyeri akut.
Ø  Kaji tingkat nyeri (PQRST).
Ø  Jelaskan penyebab terjadinya nyeri.
Ø  Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi
Ø  Kolaborasi pemberian analgetik bila perlu.
6)      Meningkatkan nutrisi yang adekuat.
Ø  Kaji status nutrisi dan faktor-faktor yang mungkin mengganggu nafsu makan.
Ø  Jelaskan pentingnya asupan gizi yang adekuat untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
Ø  Anjurkan makan porsi kecil tapi sering.
Ø  Kolaborasi diet dengan ahli gizi.
Ø  Kolaborasi pemberian vitamin.
7)      Meningkatkan pengetahuan pasien tentang cara pencegahan penularan.
Ø  Kaji tingkat pemahaman pasien/keluarga tentang cara mencegah penularan.
Ø  Diskusikan faktor-faktor yang pendukung dan penghambat penularan.
Ø  Instruksikan pasien dan keluarga tentang prosedur pengendalian infeksi (menutup mulut saat batuk,mencuci tangan,membuang sputum pada tempatnya)
8)      Mencegah komplikasi efek samping obat.
Ø  Pantau tanda / gejala efek samping obat.
Ø  Jelaskan efek samping masing-masing OAT.
Ø  Jelaskan hal-hal yang harus dihindari /dilakukan terhadap masing-masing jenis OAT.
Ø  Pantau kadar enzim-enzim hepar, BUN, Kreatinin untuk mendeteksi fungsi hepar dan ginjal.
Ø  Instruksikan pasien menghubungi perawat/dokter bila terjadi efek samping.
9)      Mencegah komplikasi TB Miliaris
Ø  Jelaskan tanda-tanda penyebaran infeksi TBC ke bagian tubuh non pulmonal.
Ø  Pantau tanda-tanda infeksi TBC non pulmonal (lonjakan suhu tubuh, perubahan fungsi ginjal dan kognitif).
Ø  Lapor dokter bila terdapat tanda TB Miliaris.
4. EVALUASI KEPERAWATAN
    1) Mempertahankan patensi jalan napas dengan mengatasi sekresi menggunakan   humidifikasi, masukan cairan, batuk dan drainase postural.
    2) Mematuhi regimen pengobatan dengan minum obat sesuai yang diharuskan.
    3)  Mempertahankan jadwal aktifitas.
    4)  Tidak terjadi peningkatan suhu tubuh.
    5)  Pasien menyatakan tingkat penurunan nyeri.
    6)  Masukan nutrisi yang adekuat. 
    7)  Menunjukkan pemahaman dan tingkah laku dalam pencegahan penularan.
    8) Melakukan langkah-langkah pencegahan efek samping obat (menghindari  alkohol,kafein), melakukan pemeriksaan fisik teratur untuk mengtahui fungsi ginjal hepar.
    9)  Tidak menunjukkan komplikasi (TB Miliaris).




DAFTAR PUSTAKA

-          Brunner & Suddarth, (1996), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.
-          Carpenito, L.J., (2006), Buku Saku Diagnosa Keperawatan,EGC, Jakarta.
-          Doengoes,M.E.,(1998), Dokumentasi & Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.
-          Depkes RI, (2002), Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Anonim, Jakarta.
-          Guyton, A.C., (1995), Fisiologi Manusia, EGC, Jakarta.
-          Mansyur,A., (2001), Kapita Selekta Kedokteran, Media Aeskulapius, Jakarta.
-          Price,S.A. & Wilson,L.M.,(1995), Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, EGC, Jakarta.
-          Suyono, S., (1996), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit, Jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar