PROSEDUR TINDAKAN DAN PERAWATAN TRAKEOSTOMI


1.        Pengertian trakeostomi
Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding depan/anterior trakea untuk bernapas. (Soepardi, 2001 : 204)
              Trakeostomi adalah pembuatan lubang permanen atau sementara melalui tindakan bedah kedalam trakea kedua, ketiga, atau keempat.

2.        Indikasi trakeostomi
1)        Edema trakea karena trauma atau respon alergi
2)        Obstruksi laring STD III & IV
3)        Ventilasi mekanik
4)        Ketidakmampuan untuk membersihkan jalan napas
5)        Luka bakar jalan napas
6)        Perdarahan jalan napas atas
7)        Fraktur laring, mandibula, maksilaris
8)        Cedera kepala berat
9)        Trauma tembus cranium & thorak
10)    Persiapan operasi tractus respiratorius bagian atas
11)    Orotracheal intubasi susah pada waktu Anasthesi umum

3.        Fungsi Trakeostomi
a.         Mengurangi dead space/ruang rugi 10-50 % di saluran napas bagian atas seperti daerah rongga mulut, sekitar lidah dan faring. Dengan adanya stoma maka seluruh oksigen yang dihirupnya akan masuk ke dalam paru, tidak ada yang tertinggal di ruang rugi tersebut. Hal ini berguna pada pasien dengan kerusakan paru, yang kapasitas vitalnya berkurang.
b.        Mengurangi tekanan aliran udara pernapasan.
c.         Proteksi terhadap aspirasi.
d.        Pasien bisa menelan tanpa adanya reflek apneu.
e.         Mempermudah membersihkan trakea melalui penghisapan sekret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat mengeluarkan sekret secara fisiologik, misalnya pada pasien dalam keadaan koma.
f.         Menyediakan  saluran untuk pengobatan/humidifikasi cabang tracheobronchial.
g.        Mengurangi kekuatan batuk.
h.        Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas untuk bronkoskopi.

4.        Pembagian Trakeostomi
1)        Berdasarkan lokasi
§   High : Cincin 1 - 2
§   Low : Cincin 3 - 4
2)        Berdasarkan keperluannya
§   Orderly : dipersiapkan
§   Emergency
3)        Berdasarkan sayatan kulit
§   Horizontal : yang umum dipakai
§   Vertical : dalam keadaan emergency

5.        Komplikasi Trakeostomi
a.         Komplikasi segera (Immediate) :
§   Apneu karena hilangnya stimulasi hypoxia dari respirasi
§   Perdarahan
§   Kerusakan organ sekitar tracheo : Oesophagus N. Laryngeus recurent, cupula plenra
§   Pneuomothorax dan pneumomediabtinum
§   Kerusakan cartilagocricoid (pada high traceostomi)
b.         Komplikasi pertengahan (Intermediate) :
§   Tracheitis dan tracheobronchitis
§   Erosi tracheal dan perdarahan
§   Hypercarnia
§   Atelektasis
§   Salah letak canule
§   Obstruksi canule
§   Subcutaneus emphysema
§   Aspirasi dan absces paru
c.         Komplikasi lambat (Late) :
§   Fistula tracheocutaneus yang persisten
§   Stenosis larynx atau trachea
§   Granulasi trachea
§   Tracheo malacia
§   Decanulasi yang susah
§   Fistula tracheo-oessophageal
§   Kesulitan dengan sikatrik tracheostomy

6.        Konsep fisiologis tindakan atau pengaruh alat terhadap tubuh
Di samping efek pada laring yang menyebabkan penderita tidak dapat berbicara, trakeostomi juga meniadakan proses pemanasan dan pelembaban udara inspirasi. Perubahan ini menyebabkan gagalnya silia mukosa bronkus mengeluarkan partikel-partikel tertentu dari paru. Discharge trakea berkurang dan menjadi kental, akhirnya terjadi metaplasia skuamosa pada epitel trakea.
Trakeostomi memintas laring dan saluran napas bagian atas, karena itu mengurangi tahanan terhadap aliran udara, terutama bila telah terjadi proses patologik yang menyebabkan penyempitan di daerah glotis. Trakeostomi mengurangi ruang mati (dead space) anatomik sampai 100 ml. Hal ini sangat penting bagi penderita dengan tidal volume yang sangat terbatas.
Trakeostomi dapat mengganggu gerakan pengangkatan laring pada waktu menelan. Keadaan ini menyebabkan penderita enggan menelan dan sering tersedak karena aspirasi ludah ke dalam laring dan trakea. Trakeostomi meniadakan mekanisme filtrasi saluran napas bagian superior, mengurangi efektifitas refleks batuk, dan mengganggu gerakan penutupan glotis hingga sering terjadi aspirasi ludah.
Bila digunakan kanul trakea yang memakai balon, tekanan balon pada dinding lateral trakea dapat menyebabkan hipoksi epitel mukosa trakea. Epitel ini mudah terinfeksi hingga terjadi erosi mukosa trakea.
Bartlett dkk menyatakan dari hasil penyelidikannya bahwa pada trakea yang normal tidak terdapat bakteri. Pada discharge trakea penderita dengan trakeostomi sering ditemukan berbagai koloni bakteri, yang sering ialah Pseudomonas aeruginosa dan kokus gram positif. Selanjutnya dikatakan, tidak ada korelasi antara bakteri dan flora saluran napas bagian atas dengan bakteri dan flora trakea penderita; bakteri dan flora di dalam trakea penderita berasal dari sumber-sumber lain, bukan dari saluran napas bagian atas.

7.        Pengkajian dan Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
a)         Pengkajian
§   Status pernapasan (Vital Sign)
§   Batuk
§   Sekresi
§   Suara napas
§   Hygiene oral dan Canula
§   Adanya emphisema cutis
§   Adanya perdarahan
§   Kepatenan jalan napas
§   Ikatan canula
§   Tanda-tanda infeksi disekitar canula
§   Hidrasi
§   Ekspansi dinding dada

b)        Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
§   Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang pembedahan.
§   Risiko tinggi ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi.
§   Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan ketidakmampuan menghasilkan bicara.
§   PK Hemoragi
§   Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder akibat trakeostomi.
§   Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan ketergantungan
Ventilator.
§   Koping individu tidak efektif dan ketidakberdayaan yang berhubungan dengan ketergantungan pada ventilator.
§   Risiko terhadap aspirasi berhubungan dengan depresi refleks-refleks laring dan glotik sekunder akibat adanya selang trakeostomi.
§   Sindrom kurang perawatan diri berhubungan dengan alat eksternal seperti trakeostomi, kateter, NGT.
§   Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dalam penampilan sekunder akibat pembedahan.

8.        Intervensi Keperawatan
a.         Dx : Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang pembedahan
§   Kaji tingkat ansietas : ringan, sedang, berat, panik.
§   Pertegas penjelasan dokter tentang pembedahan dan alasannya.
§   Informasikan resiko pembedahan.

b.        Dx : Risiko tinggi ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi.
§   Mengidentifikasi adanya sekresi dengan auskultasi paru sedikitnya 2-4 jam.
§   Suction sesuai kebutuhan.
§   Anjurkan pasien batuk dan napas dalam secara teratur.
§   Lakukan latihan fisioterapi dada.



c.         Dx : Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan ketidakmampuan menghasilkan bicara.
§   Kembangkan metode komunikasi alternatif pada pasien.
§   Gunakan pendekatan komunikasi yaitu membaca gerak bibir, gunakan kertas dan pensil, bahasa gerak tubuh, papan komunikasi, papan pengumuman.
§   Kolaborasi dengan ahli terapi bahasa dalam menggunakan metode yang sesuai untuk pasien.

d.        Dx : PK Hemoragi
§   Pantau adanya tanda-tanda perdarahan.
§   Laporkan pada dokter apabila terjadi perdarahan.

e.         Dx : Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder akibat trakeostomi.
§   Kaji adanya tanda-tanda infeksi.
§   Lakukan perawatan trakeostomi setiap hari. (Perawatan trakeostomi dilakukan sedikitnya setiap 8 jam jika diindikasikan darena risiko peningkatan infeksi)
§   Atur posisi selang dalam trakea sehingga tidak menyimpang dan tertarik.
§   Lakukan hygiene oral karena rongga oral merupakan sumber utama kontaminasi paru-paru pada pasien yang diintubasi pada pasien lemah.

f.     Dx : Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan ketergantungan
ventilator.
§   Bantu pasien melakukan mobilitas dan aktivitas otot.
§   Bantu pasien melakukan latihan rentang gerak pasif/aktif tiap 8 jam untuk mencegah atropi otot, kontraktur dan statis vena.


h.        Dx : Koping individu tidak efektif dan ketidakberdayaan yang berhubungan dengan ketergantungan pada ventilator.
§   Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaannya mengenai pemasangan trakeostomi.
§   Beri dukungan bila pasien berbicara.
§   Beri dorongan untuk melakukan evaluasi diri dari prilakunya sendiri.
§   Berikan penjelasan prosedur setiap kali dilakukan untuk mengurangi ansietas dan biasakan pasien dengan rutinitas rumah sakit.

i.          Dx : Risiko terhadap aspirasi berhubungan dengan depresi refleks-refleks laring dan glotik sekunder akibat adanya selang trakeostomi.
§   Tinggikan kepala pasien 30 sampai 45 derajat.
§   Kembungkan manset (selama menggunakan ventilasi mekanik kontinue, selama dan setelah makan, selama dan 1 jam setelah makan melalui selang, selama tindakan pernapasan tekanan-positif intermiten).
      
j.          Dx : Sindrom kurang perawatan diri berhubungan dengan alat eksternal seperti trakeostomi, kateter, NGT.
§   Berikan bantuan  dalam aktivitas perawatan diri.
§   Evaluasi kemampuan untuk berpartisipasi dalam setiap aktivitas perawatan.

k.        Dx : Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dalam penampilan sekunder akibat pembedahan.
§   Dorong individu untuk mengekspresikan perasaannya, khususnya mengenai pikiran, perasaan, pandangan dirinya.
§   Dorong pasien untuk bertanya mengenai masalah, penanganan, perkembangan dan prognosa kesehatan.
§   Berikan informasi yang dapat dipercaya dan perkuat informasi yang telah diberikan.
§   Dorong kontak dengan keluarga atau teman sebaya.
§   Dorong menggunakan scarf.
9.        Persiapan Lingkungan
§   Menutup pintu, jendela atau memasang sampiran.

10.    Persiapan Alat
§   Semprit
§   Obat analgesia (Novokain)
§   Pisau (Skalpel)
§   Pinset anatomi
§   Gunting panjang yang tumpul
§   Pengait tumpul 1 pasang
§   Klem arteri
§   Gunting kecil tajam
§   Kanul trakea (Ukuran disesuaikan dengan pasien)
§   Hand Schoon steril
§   Antiseptik
§   Plester
§   Gunting perban
§   Bengkok
§   Gaas steril
§   Kain/duk steril
    

11.    Prosedur kerja
§   Atur posisi pasien yaitu dalam keadaan terlentang, bahu diganjal dengan bantalan kecil sehingga memudahkan kepala untuk diekstensikan pada persendian atlanto oksipital. Dengan posisi ini, leher akan lurus dan trakea akan terletak digaris median dekat permukaan leher.


Gambar 2. Struktur anatomi sekitar leher

§   Kulit dibersihkan secara aseptik.
§   Tutup kulit leher dengan kain steril
§   Suntikkan obat anastetikum (Novokain) di pertengahan krikoid dengan fosa suprasternal secara infiltrasi.

    Gambar 3. Lokasi penyuntikan obat anestetik

§   Lakukan sayatan pada kulit leher. Sayatan dapat vertikal di garis tengah leher mulai di bawah krikoid sampai fosa suprasternal atau jika membuat sayatan horisontal dilakukan pada pertengahan jarak antara kartilago krikoid dengan fosa suprasternal atau kira-kira 2 jari dibawah krikoid orang dewasa. Sayatan jangan terlalu sempit, dibuat kira-kira 5 cm.


Gambar 4. Dilakukan penayatan pada area pemasangan

§   Pisahkan kulit serta jaringan dibawahnya dengan gunting panjang yang tumpul, lapis demi lapis.

Gambar 5. Kulit dan otot telah dipisahkan
§   Tarik ke lateral dengan pengait tumpul sampai tampak trakea yang berupa pipa dengan susunan cincin-cincin tulang rawan yang berwarna putih.
§   Buka lapisan kulit dan jaringan dibawahnya tepat ditengah sampai trakea terlihat.
§   Tarik pembuluh darah yang tampak ke lateral.
§   Tarik ke atas ismus tiroid yang ditemukan supaya cincin trakea terlihat jelas. Jika tidak mungkin, ismus tiroid diklem pada dua tempat dan dipotong ditengahnya. Sebelum klem dilepaskan, ismus tiroid diikat kedua tepinya dan sisihkan ke lateral.


Gambar 5. Identifikasi cincin trakea 3-4

§   Hentikan perdarahan, jika perlu diikat.
§   Lakukan aspirasi dengan cara menusukkan jarum pada membran antara cincin trakea dan akan terasa ringan waktu ditarik.

§   Buat stoma dengan memotong cincin trakea ketiga dengan gunting yang tajam.

Gambar 6. Pembuatan stoma

§   Pasang kanul trakea dengan ukuran yang sesuai.

Gambar 7. Pemasangan kanul trakea

§   Fiksasi kanul dengan tali pada leher pasien dan tutup luka operasi dengan kasa steril

Gambar 8. fiksasi kanul

§   Tali yang diikat pada leher pasien diukur dengan menggunakan telunjuk untuk mencegah pasien tercekik.


Gambar 9. Memperkirakan regangan tali pengikat kanul

Gambar  9. Gambaran posisi anatomis kanul trakea pada leher

12.    Hal-hal yang perlu diperhatikan
§   Sebelum membuat lubang pada trakea perlu dibuktikan dulu yang akan dipotong itu benar-benar trakea dengan cara mengaspirasi dengan semprit yang berisi novokain.
§   Bila yang ditusuk itu adalah trakea maka pada waktu dilakukan aspirasi terasa ringan dan udara yang terisap akan menimbulkan gelembung udara.
§   Untuk mengurangi reflek batuk dapat disuntikkan novokain sebanyak 1 cc ke dalam trakea.
§   Untuk menghindari terjadinya komplikasi perlu diperhatikan insisi kulit jangan terlalu pendek agar tidak sukar mencari trakea dan mencegah terjadinya emphisema kulit.
§   Ukuran kanul harus sesuai dengan diameter lumen trakea. Bila kanul terlalu kecil, akan menyebabkan kanul bergerak-gerak sehingga terjadi rangsangan pada mukosa trakea dan mudah terlepas keluar. Bila kanul terlalu besar, sulit untuk memasukkannya ke dalam lumen dan ujung kanul akan menekan mukosa trakea dan menyebabkan nekrosis dinding trakea.
§   Panjang kanul harus sesuai. Bila terlalu pendek akan mudah keluar dari lumen trakea dan masuk ke dalam jaringan subkutis sehingga pasien asfiksia. Bila kanul terlalu panjang maka mukosa trakea akan teriritasi dan mudah timbul jaringan granulasi.

13.    Perawatan pasca trakeostomi
Adanya kanul di dalam trakea yang merupakan benda asing akan merangsang pengeluaran discharge. Discharge ini akan keluar bila penderita batuk, pada saat dilakukan pengisapan atau pada saat penggantian kanul.
Pengeluaran discharge dengan jalan membatukkan pada penderita dengan trakeostomi tidak seefektif pada orang normal, karena penderita tidak dapat menutup glotis untuk menghimpun tekanan yang tinggi, sehingga perlu dilakukan pengisapan. Beberapa jam pertama pasca bedah, dilakukan pengisapan discharge tiap 15 menit, selanjutnya tergantung pada banyaknya discharge dan keadaan penderita. Pengisapan discharge dilakukan dengan kateter pengisap yang steril dan disposable. Pada saat pengisap dimasukkan ke dalam trakea, jangan diberi tekanan negatif, begitu pula antara pengisapan harus diberi periode istirahat agar udara paru tidak terlalu banyak terisap, dengan demikian residual volume tidak banyak berkurang. Setelah ujung pengisap sampai di bronkus, dilakukan pengisapan perlahan-lahan sambil memutar kanul pengisap. Jika kanul trakea mempunyai kanul dalam, kanul dalamnya dikeluarkan terlebih dahulu. Kanul dalam ini harus sering diangkat dan dibersihkan.
Lore (1973) menganjurkan memakai pengisap terkecil yang dapat melakukan pengisapan dengan adekuat, sedang Feldman dan Crawley (1971) memakai kateter pengisap steril dan non traumatik yang penampangnya kurang dari separuh penampang trakea.
Sebelum melakukan pengisapan, sebaiknya penderita diberi oksigen selama 2-3 menit. Bila didapatkan sekret yang kental, teteskan larutan garam fisiologis terlebih dahulu.
Dengan adanya trakeostomi, fungsi humidifikasi yang sebelumnya dilakukan oleh saluran napas bagian atas menghilang. Untuk itu menggantikannya perlu dilakukan humidifikasi buatan.
Cara-cara untuk humidifikasi udara inspirasi di antaranya ialah:
a). Condensor humidifier.
Alat ini dipasang pada kanul trakea. Pada waktu ekspirasi, uap air mengembun pada lempeng-lempeng metal dari kondensor. Kekurangan alat ini ialah jika terjadi penimbunan discharge pada alat tersebut fungsinya akan berkurang. Alat ini harus diganti setiap 3 jam.
b). Dengan melewatkan udara inspirasi melalui reservoir
berisi air yang secara teratur dipanaskan dengan termostat. Alat ini relatif lebih efisien. Bila penderita bernafas spontan, campuran gas ditiupkan melalui suatu T-piece atau melalui kotak plastik yang dilubangi.
c). Dengan menambahkan tetesan-tetesan air yang halus pada udara
inspirasi. Efektifitas tetesan ini tergantung pada jumlah tetesan dan kelembaban relatif udara inspirasi.
d). Secara sederhana humidifikasi dapat dikerjakan dengan menaruh lembaran kasa yang telah dibasahi di depan mulut kanul. Kasa tersebut diikatkan pada leher dan harus diganti sesering mungkin.
Bila kanul terbuat dari polivinil klorida atau dari silikon, kanul ini diganti setiap 7 hari atau lebih cepat, karena lumennya akan mengecil oleh timbunan krusta dan discharge.
Sebelum mengangkat kanul, trakea dan daerah faring diisap terlebih dahulu, setelah itu balon dikempiskan kemudian kanul diangkat dan stoma dibersihkan dengan cepat. Kanul baru dipasang dengan mengarahkan ujungnya ke arah posterior lebih dahulu kemudian ke arah kaudal. Kesalahan memasang kanul dapat berakibat kanul terletak di dalam mediastinum. Bila diduga akan terjadi kesulitan pada pemasangan kanul kembali, siapkan alat-alat untuk resusitasi, laringoskop dan PET (pipa endo trakeal). Setelah penggantian kanul dilakukan auskultasi paru untuk menyakini bahwa kedua paru sama mengembang.
Bila digunakan kanul memakai balon (cuff), sebaiknya dipilih balon yang bervolume besar dan bertekanan rendah. Balon diisi dengan udara secukupnya agar menempel rapat pada dinding trakea, dan jumlah udara yang dimasukkan dicatat.
Jika balon terlalu banyak diisi udara akan terjadi hal-hal sebagai berikut:
a). Iskemia dan nekrosis mukosa trakea.
b). Nekrosis cincin-cincin tulang rawan trakea.
c). Herniasi balon pada ujung kanul akan menyumbat jalan napas.
d). Akan timbul gangguan saat menelan.
Luka operasi pada stoma bila bersih cukup ditutup dengan kasa steril, tetapi luka terinfeksi perlu dikultur dan uji kepekaan dan diberikan antibiotika yang sesuai. Akhirnya penderita diajari untuk merawat diri sendiri.


DAFTAR PUSTAKA

-          Bechara, Y. (2007). “Surgical Picture of Tracheostomy”, available: http://www.siaksoft.net/index.html  (Accessed: 2008, Pebruari 29).
-          Carpenito, L.J. (2001) Handbook of Nursing Diagnosis (Buku terjemahan), Ed.8. EGC, Jakarta.
-          Krisnabudhi, HR. (2004), “Perawatan Mandiri Pasca Trakeostomi”, Available: http://fkuii.org/tiki-download_wiki_attachment. (Accessed: 2008, Pebruari 29).
-          Soepardi, A. (2001), Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Ed.5. EGC, Jakarta.
-          Tanjung, D. (2003), “Asuhan Keperawatan Klien Dengan Ventilasi Mekanik”, Available : http://library.usu.ac.id. (Accessed: 2008, Pebruari 29).
-          Wirya, M. (2004), Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok dan Kepala Leher.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar