KONSEP TEORI
1.
Pengertian
Emfisema merupakan suatu perubahan anatomis
paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian
distal bronkus terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus (Suyono, 2001
: 873).
2.
Epidemiologi
Kira-kira dua pertiga laki-laki dan seperempat wanita terkena emfisema
paru. Di Amerika Serikat terdapat pada 65 % laki-laki dan 15 % wanita. Di
Indonesia belum ada data mengenai emfisema paru.
3. Klasifikasi Emfisema
Menurut
The American Thoracic Society (1962) emfisema paru dibagi atas :
a. Paracicatricial : terdapat pelebaran
saluran udara dan kerusakan dinding alveolus di tepi suatu lesi fibrotik paru.
b. Lobular : pelebaran saluran udara dan
kerusakan dinding alveolus di asinus/lobulus sekunder.
Emfisema paru
dibagi lagi menurut tempat proses terjadinya :
a)
Sentrolobular : kerusakan
terjadi di daerah sentral asinus. Daerah distalnya tetap normal.
b) Panlobular : kerusakan terjadi di seluruh
asinus.
c) Tak dapat ditentukan : kerusakan terdapat
diseluruh asinus, tetapi tidak dapat ditentukan dari mana mulainya.
WOC
4. Manifestasi klinis
Emfisema paru adalah suatu
penyakit menahun. Biasanya dimulai pada seorang pasien perokok berumur 15-25
tahun. Pada umur 25-35 tahun kemampuan kerja beratnya mulai menurun dan mulai
timbul perubahan pada saluran napas kecil dan fungsi paru mulai berubah antara
lain berupa kenaikan closing volume. Umur 35-45 tahun timbul batuk yang
produktif dan VEP1 (Volume ekspirasi paksa 1 detik) menurun. Sesak napas,
hipoksemia dan perubahan spirometri sudah terjadi pada umur 45-55 tahun. Pasien
sering berulang-ulang mendapat infeksi saluran napas bagian atas, sehingga
sering atau sama sekali tidak dapat bekerja. Pada umur 55-65 tahun sudah ada
kor pulmonal, yang dapat menyebabkan kegagalan napas dan meninggal dunia.
Keluhan utama pada pasien emfisema adalah sesak napas, batuk berdahak tidak
begitu mencolok. Pasien dengan emfisema paru dominan biasanya mempunyai riwayat
sesak napas dengan batuk kadang-kadang disertai sedikit sputum mukoid. Bila ada
infeksi, sputum menjadi purulen atau mokopurulen dan kental. Bila disertai
hemoptisis, harus dipikirkan penyakit lain seperti tuberkulosis, bronkiektasis,
atau tumor.
5. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan radiologis
Terdapat 2 bentuk kelainan foto dada pada emfisema
paru yaitu :
1) Gambaran defisiensi arteri
Terjadi overinflasi, pulmonary
oligoemia dan bula.
§ Overinflasi
Hampir
selalu terlihat diafragma yang rendah dan datar, bahkan kadang-kadang terlihat
konkaf. Pada pemeriksaan sinar tembus gerakannya berkurang. Udara di ruang
retrosternal bertambah (trapped air) yaitu jarak antara sternum dan pinggir
depan aorta asendens. Juga sternum lebih melengkung,
penambahan kifosis, tulang iga lebih mendatar dan melebar.
§ Oligoemia
Penciutan
pembuluh darah pulmonal dan penambahan corakan ke distal. Mungkin disebabkan
karena darah yang mengalir ke bagian bawah paru uang emfisema sangat berkurang,
disebabkan karena darah dialirkan ke bagian atas paru.
§ Bulae
Sering terdapat pada pasien
emfisema paru.
2) Corakan paru yang bertambah
Lebih sering terdapat pada kor pulmonal, emfisema sentrilobular dan
blue bloaters.
b. Pemeriksaan faal/fungsi paru
Pada
emfisema paru kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi
berkurang.
c. Analis gas darah
Ventilasi
yang hampir adekuat masih sering dapat dipertahankan oleh pasien emfisema paru
sehingga PaCo2 rendah atau normal. Saturasi hemoglobin pasien hampir mencukupi.
d. Pemeriksaan EKG
Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi
clock wise jantung.
6. Penatalaksanaan
1)
Penyuluhan
Penyuluhan
tentang emfisema paru kepada para pasien sangat penting. Harus diterangkan hal-hal yang dapat memperberat penyakit, hal-hal
yang harus dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan dengan baik.
2)
Pencegahan
§ Rokok
Merokok
harus dihentikan, meskipun sukar, penyuluhan dan usaha yang optimal harus
dilakukan.
§ Menghindari polusi lingkungan
Sebaiknya
dilakukan penyuluhan secara berkala pada pekerja pabrik, terutama pada
pabrik-pabrik yang mengeluarkan zat-zat polutan yang berbahaya terhadap saluran
napas.
§ Vaksin
Dianjurkan
vaksinasi untuk mencegah eksaserbasi, terutama terhadap influensa dan infeksi
pneumokokus.
3)
Terapi
farmakologi
Tujuan
utama adalah untuk mengurangi obstruksi jalan napas yang masih mempunyai
komponen yang reversibel meskipun sedikit. Dengan pengurangan obstruksi sedikit
saja akan sangat membantu pasien, hal ini dapat dilakukan dengan :
§ Pemberian bronkodilator yaitu golongan teofilin dan golongan
antagonis B2. Golongan teofilin biasanya diberikan dengan dosis
10-15 mg/kgBB per oral. Dalam pemberian obat ini harus diperhatikan kadar
teofilin dalam darah karena metabolisme teofilin sangat bervariasi pada setiap
individu. Konsentrasi dalam darah yang baik antara 10-15 mg/L. Pasien emfisema
yang sudah berusia lanjut, apalagi bila disertai kelainan jantung, dapat
menyebabkan ekskresi teofilin lebih menurun. Sedangkan golongan antagonis B2 sebaiknya diberikan secara aerosol atau nebulizer.
Dapat juga diberikan kombinasi obat secara aerosol maupun oral sehingga
diharapkan mempunyai efek bronkodilator lebih kuat.
§ Pemberian kortikosteroid yang dapat
mengurangi obstruksi saluran napas. Pemberian kortikosteroid selama 3-4 minggu,
bial tidak ada respons, pemberian dapat dihentikan.
§ Mengurangi sekresi mukus yang dapat
dilakukan dengan minum cukup supaya tidak dehidrasi dan mukus lebih encer,
menggunakan ekspektoran (gliseril guaiakolat, kalium yodida, dan amonium
klorida), nebulisasi dan humidifikasi dengan uap air dapat menurunkan
viskositas dan mengencerkan sputum, menggunakan mukolitik misalnya asetilsistein
atau bromheksin.
4)
Pemberian
O2 jangka panjang
Hipoksia
kronik dapat menyebabkan vasospasme dan hipertensi pulmonal, serta polisitemia
sehingga terjadi kor pulmonal. Pemberian O2 dalam jangka panjang akan
memperbaiki hal-hal tersebut, disertai kenaikan toleransi latihan. Biasanya
diberikan pada pasien hipoksia yang timbul pada waktu tidur atau waktu latihan.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN EMPISEMA
1.
Pengkajian
Data Subjektif
§ Pasien mengeluh sesak napas
§ Pasien mengatakan napsu makannya
berkurang
§ Pasien mengeluh mual
Data Objektif
§ Terdengar suara ronchi (+) , wheezing (+)
§ Produksi mukus meningkat
§ Pasien tampak muntah
§ Berat badan menurun
§ Pasien tampak batuk
§ Pasien tampak letih
2.
Diagnosa keperawatan
1. kerusakan pertukaran gas b/d ketidaksamaan
ventilasi perfusi
2.
Bersihan jalan napas tak
efektif b/d produksi mucus meningkat
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
b/d anoreksia
4.
Intoleran aktivitas b/d
kelemahan
5. Pola napas takefektif b/d broncokonstiksi
dan dyspnea
6. Koping individu tak efektif b/d kurang
informasi tentang penyakit
7. Risiko tinggi infeksi
8.
PK : Atelektasis
9.
PK : Gagal napas
10.
PK : Pneumothorak
3.
Rencana tindakan keperawatan
Dengan munculnya beberapa
diagnosa keperawatan dan masalah kolaboratif seperti di atas, maka dapat dibuat
rencana tindakan pada diagnosa dan masalah kolaboratif yang paling sering
terjadi pada pasien Empisema.
Rencana Tindakan
Keperawatan pada pasien Empisema beserta rasional tindakan
No
|
Dx
|
Tujuan
dan criteria Hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
2
|
|
4
|
5
|
|
1
|
|
§ Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan.
Catat penggunaan otot aksesori , napas bibir.
§ Tinggikan kepala tempat tidur , Bantu
pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernapas . Dorong napas dalam perlahan atau napas sesuai kebutuhan /
toleransi individu
§ Auskultasi bunyi napas , catat area penurunan aliran udara dan
atau bunyi tambahan.
§ Berikan bronkodilator sesuai yang
diharuskan bisa diberikan per oral, intravena, rectal atau dengan inhalasi
|
§ Berguna dalam evaluasi derajat distress
pernapasan dan atau kronisnya proses penyakit
§ Pengiriman oksigen dapat diperbaiki
dengan posisi duduk tinggi dan latihan napas untuk menurunkan kolaps jalan
napas , dispnea dan kerja napas
§ Bunyi napas mungkin redup karena penurunan aliran udara atau area
konsolidasi .Adanya mengi mengindikasikan spasme bronkus .
§ Bronkodilator mendilatasi jalan napas dan membantu melawan edema mukosa
bronkial dan spasme muskular .
|
|
2
|
|
§ Auskultasi bunyi napas . catat adanya bunyi napas, misal mengi,
ronchi
§ Beri pasien 6 sampai 8 gelas cairan /
hari kecuali terdapat kor pulmonal
§ Kaji pasien untuk posisi yang nyaman misal peninggian kepala
tempat tidur , duduk pada sandaran tempat tidur
§ Dorong / bantu latihan napas
Bibir
§ Bantu dalam pemberian tindakan nebulizer,
inhaler dosis terukur
§ Instruksikan pasien untuk menghindari iritan seperti asap rokok ,
aerosol, suhu yang ekstrem dan asap.
|
§ Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan
napas dan dapat/tak dimaniffestasikan adanya bunyi napas missal mengi
§ Hidrasi sistemik menjaga sekresi tetap lembab dan memudahkan untuk
pengeluaran . cairan harus diberikan dengan kewaspadaan jika terdapat gagal
jantung sebelah kanan
§ Peninggian kepala tempat tidur
mempermudah fungsi pernapasan dengan menggunakkan gravitasi .
§ Memberikan pasien beberapa cara untuk
mengatasi dan mengontrol dispnea
§ Tindakan ini akan menambahkan air kedalam percabangan bronchial dan pada sputum , menurunkan
kekentalannya , sehingga memudahkan evaluasi sekresi .
§ Iritan bronchial menyebabkan bronkokonstriksi dan meningkatkan
pembekuan lendir , yang kemudian mengganggu klirens jalan napas .
|
|
3
|
|
§ Kaji kebiasaan diet, masukan makanan
saat ini. Evaluasi berat
badan dan ukuran tubuh
§ Auskultasi bunyi usus
§ Hindari makanan penghasil gas dan
minuman karbonat
§ Hindari makanan yang sangat panas atau sangat dingin
§ Timbang berat badan sesuai indikasi
§ Kolaborasi dalam
pemberian oksigen tambahan selama
makan sesuai indikasi
|
§ Pasien distres pernapasan sering
anoreksia karena dispnea dan obat.
§ Penurunan / hipoaktif
bising usus menunjukkan penurunan motalitas gaster.
§ Dapat menghasilkan distensi abdomen yang
mengganggu napas abdomen dan gerakan diafragma dan dapat meningkatkan
dispnea.
§ Suhu ekstrem dapat mencetuskan / meningkatkan spasme batuk
§ Berguna untuk menentukan kebutuhan
kalori, menyusun tujuan berat badan dan evaluasi keadekuatan rencana nutrisi.
§ Menurunkan
dispnea dan meningkatkan energi untuk makan meningkatkan masukan .
|
|
4
|
|
§ Evaluasi respons pasien terhadap aktivitas . catat laporan dispnea
, peningkatan kelemahan / kelelahan dan perubahan tanda vital selama dan setelah
aktivitas
§ Berikan lingkungan tenang dan batasi
pengunjung selama fase akut sesuai indikasi.
§ Bantu aktivitas perawatan diri yang
diperlukan . berikan kemajuan peningkatan aktivitas selama fase penyembuhan
|
§ Menetapkan kemampuan / kebutuhan pasien
dan memudahkan pilihan intervensi
§ Menurunkan stress dan rangsangan
berlebihan , meningkatkan istirahat
§ Meminimalkan kelelahan dan membantu
keseimbamgan suplai dan kebutuhan oksigen
|
|
5
|
|
§ Kaji frekuensi kedalaman pernapasan dan ekspansi dada.catat upaya
pernapasan,termasuk penggunaan otot Bantu.
§ Auskultasi bunyi napas dan catat adanya bunyi napas adventisius
seperti ronchi.
§ Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi
§ Dorong atau bantu pasien dalam napas
dalam dan latihan batuk
§ Kolaborasi dalam pemberian oksigen tambahan .
|
§ Kecepatan biasanya meningkat.dispnea dan terjadi peningkatan kerja
napas.kedalaman pernapasan bervariasi tergantung derajat gagal napas
§ Bunyi napas menurun atau tak ada bila jalan napas obstruksi
sekunder terhadap perdarahan ,bekuan atau kolaps jalan napas kecil
(atelektasis).
§ Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernapasan
§ Dapat meningkatkan atau banyaknya sputum
dimana gangguan ventilasi dan ditambah ketidaknyamanan upaya bernapas
§ Memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja napas
|
|
6
|
|
§ Mengadopsi sikap yang penuh harapan dan
memberikan semangat yang diitujukan pada pasien
§ Ajarkan teknik relaksasi atau berikan rekaman untuk relaksasi bagi
pasien .
|
§ Suatu perasaan harapan akan memberikan pasien sesuatu yang dapat
dikerjakan ketimbang sikap yang merasa kalah , tidak berdaya
§ Rrelaksasi mengurangi stress dan ansietas dan membantu pasien
untuk mengatasi ketidakmampuannya .
|
|
7
|
|
§ Observasi vital sign
§ Dorong keseimbangan antara aktivitas dan
istirahat
§ Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat
|
§ Demam dapat terjadi karena infeksi
§ Mnurunkan konsumsi / kebutuhan
keseimbangan oksigen dan memperbaiki pertahanan pasien terhadap infeksi .
§ Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan
umum dan mempengaruhi tahanan terhadap infeksi
|
|
8
|
|
§ Pantau status pernapasan , termasuk
frekuensi dan pola pernapasan , bunyi napas dan tanda serta gejala distress
pernapasan
§ Instrruksikan dan berikan dorongan untuk
melakukan teknik pernapasan diafragmatik serta batuk efektif
|
§ Perubahan dalam status pernapasan
termasuk takipnea , dispnea dan tidak terdengar atau hilangnya bunyi napas ,
dapat menandakan atelektasis.
§ Teknik memperbaiki ventilasi dengan
membuka jalan napas dengan demikian memperbaiki pertukaran gas
|
|
9
|
|
§ Pantau status pernapasan termasuk pola
dan frekuensi pernapasan , bunyi napas, dan tanda gejala distress pernapasan.
§ Pantau gas darah arteri
|
§ Pengenalan perubahan dalam fungsi pernapasan akan mencegah
komplikasi lebih lanjut seperti gagal pernapasan , hipoksia berat dan
hiperkapnea
§ Pengenalan perubahan dalam keseimbangan asam basa akan membantu
dalam memperbaiki dan mencegah kimplikasi
|
|
10
|
|
§ Pantau status pernapasan termasuk pola
dan frekuensi pernapasan , bunyi napas dan tanda / gejala distress pernapasan.
§ Kaji nyeri dada dan factor- factor pencetus.
§ Palpasi terhadap penyimpangan trakea
|
§ Dispnea takipnea , takikardi , nyri dada dan bunyi napas tidak
terdengar pada tempat yang sakit dan menandakan pneumothoraks
§ Nyeri dapat menyertai pneumotoraks
§ Deteksi dini dan intervensi cepat
pneumotoraks akan mencegah komplikasi serius lainnya
|
4.
Evaluasi
Evaluasi
yang dilakukan pada diagnosa keperawatan pasien hemoptisis adalah berdasarkan
kriteria evaluasi dari diagnosa keperawatan tersebut. Adapun
evaluasinya adalah sebagai berikut :
a. Pasien dapat memperbaiki ventilasi
dan memaksimalkan oksigenasi.
b. Pasien memparlihatkan jalan napas paten dengan bunyi napas bersih.
c. Nutrisi pasien dapat terpenuhi.
d. Pasien dapat menunjukkan peningkatan
ttoleransi terhadap aktivitas.
e. Pasien menunjukkan pola napas efektif
dengan frekuensi dan kedalaman dalam
rentang normal.
f. Koping individu efektif.
g. Infeksi tidak terjadi.
h. Atelektasis tidak terjadi.
i.
Gagal
napas tidak terjadi.
j.
Pneumothoraks
tidak terjadi
DAFTAR PUSTAKA
-
Carpenito, L.J. (2001), Handbook of Nursing Diagnosis (Buku
terjemahan), Ed.8. EGC,
Jakarta.
-
Suyono, S. (2001), Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi 3, FKUI, Jakarta.
-
Doengoes,
M. (1999), Rencana Asuhan keperawatan
pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian
perawatan pasien, EGC, Jakarta.
-
Brunner
& Suddart. (1996), Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar